Suap Reklamasi Sanusi

Suap Reklamasi Sanusi Malam Jumat Kliwon bisa menjadi benar memiliki makna sakral untuk anggota Dewan Perwakilan Masyarakat Wilayah DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Sanusi. Keberuntungannya hadapi Komisi Pembasmian Korupsi bubar pada Kamis malam, 31 Maret 2016, tersebut.

Satu team satgas KPK mendapatinya terima uang suap. Sanusi dicokok bersama seorang namanya Geri, seorang karyawan toko, yang berperanan sebagai pengantar uang.

KPK juga merasakan uang pecahan Rp 100 ribu sejumlah 11.400 helai dan pecahan US$ 100 sejumlah 80 helai. Uang berbentuk dolar ialah uang individu Sanusi. “Pada akhirnya ketangkap ia (Sanusi),” sebut sumber Live Draw China di KPK.

Ariesman Widjaja sebelumnya sempat sembunyikan diri, tetapi dia pada akhirnya menyerah diri esok harinya.”
Sumber itu menjelaskan penangkapan Sanusi dilaksanakan di gedung DPRD DKI, tetapi informasi sah KPK mengatakan penangkapan dilaksanakan di pusat berbelanja di wilayah Jakarta Selatan. Tentunya, operasi tangkap tangan Sanusi ini perlu usaha keras.

Dia dikenali cukup licin. Berulang-kali Sanusi dicari, tetapi, entahlah peruntungan apa yang dipunyainya, serah-terima uang suap sering kali gagal. “Telah dua atau 3x ingin OTT (operasi tangkap tangan) tetapi sering kali gagal. Orangnya telah menanti, tetapi Sanusi sendiri yang menggagalkan,” sebut sumber tersebut.

Satu diantaranya ialah saat akan terima uang di tempat parkir Alfamart Harco, Mangga Dua, Jakarta Utara, pada Senin, 22 Februari 2016. Tiga penyidik KPK tengah mengawasi Sanusi di kompleks pertokoan electronic tersebut. Menurut informasi, serah-terima suap akan dilaksanakan pada tempat itu LIVE KOCOK SDY.

Tetapi gerakan ke-3 penyidik KPK itu mengundang keraguan polisi di Samsat Jakarta Utara. Kantor Samsat itu bersisihan dengan pertokoan Harco, Mangga Dua. Polisi menduga penyidik KPK sebagai teroris dan menghubungi Polda Metro Jaya.

Operasi mencokok transaksi bisnis Sanusi juga buyar karena penyidik KPK malah disergap aparatur Polda Metro Jaya. “Faktor kekeliruan koordinir. Tetapi kelihatannya polisi khawatir. Mereka cemas kegiatan Samsat diawasi KPK,” tutur sumber.

Penangkapan Sanusi buka kasus besar atas megaproyek pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta. KPK mengatakan uang itu adalah sisi dari pelicin atas ulasan dua perancangan ketentuan wilayah (raperda) berkaitan reklamasi pantai Jakarta.

Dua raperda itu ialah Gagasan Zonesi Daerah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan koreksi Perda Nomor 8 Tahun 1995 mengenai Penerapan Reklamasi dan Gagasan Tata Ruangan Pantura Jakarta.

Sumber uang juga cepat dijelajahi. Operasi KPK bersambung dengan penangkapan pegawai PT Agung Podomoro Land (APL), Trinanda Prihantoro, dan Sekretaris Perusahaan PT APL, Berlian.

Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja juga sebelumnya sempat sembunyikan diri, tetapi dia pada akhirnya menyerah diri esok harinya. PT APL mendapat porsi reklamasi Pulau G lewat PT Muara Wisesa Samudra.

Tidak stop pada penangkapan, KPK mengincar perusahaan pengembang besar yang terturut dalam reklamasi Teluk Jakarta tersebut. Pebisnis pendiri Agung Sedayu Grup, Sugianto Kusuma alias Aguan, ditangkap.

Aguan terturut dalam reklamasi sesudah anak perusahaan kepunyaannya, PT Kapuk Naga Cantik, mendapat porsi lima pulau, yaitu A, B, C, D, dan E. Aguan tiba untuk dicheck KPK sebagai saksi pada Rabu, 13 April 2016.

Perjalanan reklamasi Teluk Jakarta memetik pro-kontra. Keran ijin reklamasi dibuka pada periode Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 21 September 2012. Dia keluarkan empat ijin konsep pas 4 bulan saat sebelum saat kedudukannya sebagai Gubernur DKI Jakarta usai.

Ijin konsep empat pulau itu ialah Pulau F untuk PT Jakarta Propertindo, Pulau G untuk PT Muara Wisesa Samudra, Pulau I untuk PT Jaladri Kartika Pakci, dan Pulau K buat PT Pembangunan Jaya Ancol.

Ke-4 ijin konsep ini diperpanjang oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada 10 Juni 2014. Ahok,  LIVE KOCOK HK nama panggilan Basuki Tjahaja Purnama, menandatangani surat ekstensi ijin konsep ini saat memegang Eksekutor Pekerjaan Gubernur DKI Jakarta.

Ijin konsep ini dilakukan tindakan pemberian ijin penerapan reklamasi. Pulau G kantongi ijin penerapan dengan SK Gubernur No. 2238 Tahun 2014 pada 23 Desember 2014, Pulau F dengan SK Gubernur No. 2268 Tahun 2015, Pulau I dengan SK Gubernur No. 2269 Tahun 2015 pada 22 Oktober 2015, dan Pulau K dengan SK Gubernur No. 2485 Tahun 2015 pada 17 November 2015.

Di saat-saat penerbitan ijin berikut Ahok memberikan dua ulasan dua raperda berkaitan reklamasi, yaitu Gagasan Zonesi Daerah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan koreksi Perda Nomor 8 Tahun 1995 mengenai Penerapan Reklamasi dan Gagasan Tata Ruangan Pantura Jakarta.

Suara DPRD DKI terpecah. Beberapa memandang Gubernur Jakarta berlaku lancang dengan ajukan ulasan raperda. Permasalahannya, ijin reklamasi terlanjur keluar, dan dasar pengaturan pulau reklamasi tidak ada, yaitu raperda itu sendiri.

Rekanan separtai Sanusi, Prabowo Soenirman, mengatakan posisi peraturan reklamasi semestinya didului penuntasan Perda Zonesi, lalu Perda Tata Ruangan, baru ijin reklamasi. Karenanya, dia menampik keinginan Ahok.

“Perda Zonesi itu penting hukumnya dilaksanakan saat sebelum diedarkannya Perda Tata Ruangan,” katanya.

Argumen Soenirman bukan tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mengenai Pengendalian Daerah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatakan ketentuan zonesi semestinya jadi dasar atas hal pemberian izin reklamasi. Ketentuan ini memutuskan sejumlah persyaratan pengendalian pulau kecil.

Warga dan beberapa instansi swadaya warga mempermasalahkan cara Ahok tersebut. Nelayan, LSM Konsolidasi Masyarakat untuk Keadilan Perikanan, Kesatuan Nelayan Tradisionil Indonesia, dan Instansi Kontribusi Hukum Jakarta menuntut SK Gubernur berkaitan ijin reklamasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.

Keputusan Gubernur itu dipandang menyalahi banyak perundangan mengenai tata ruangan teritori vital. Pengkajian lingkungan juga dikesampingkan untuk kebutuhan pebisnis.

Advokat LBH Jakarta, Tigor Hutapea, mengatakan Ahok selalu menerpaskan ketetapannya pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Tetapi beberapa aturan kelanjutan yang batasi wewenangnya mengatur Teluk Jakarta tidak pernah digubris.

“Faktor lingkungan dan sosial selalu dilalaikan. Bahkan juga kami menyaksikan ada kecacatan hukum yang terang,” katanya.

Walau hal tersebut memunculkan penampikan, Tubuh Legislasi Wilayah DPRD DKI terus menggodok perda berkaitan reklamasi. Tetapi seringkali disodorkan ke rapat pleno, kedatangan anggota DPRD DKI sebelumnya tidak pernah capai kuorum.

Hal sebagai pangkal pembicaraan ialah keinginan Ahok supaya beberapa pengembang memberi ganti rugi 15 % dari harga jual objek pajak tercantum dalam raperda. Jika keinginan itu disepakati DPRD, DKI akan mendapatkan penghasilan uang Rp 28 triliun.

Ternyata beberapa pengembang reklamasi merasa berkeberatan pada besarnya ganti rugi tersebut. Nach, disini lobi-lobi dan suap diperhitungkan terjadi. Tubuh Legislasi, yang dipegang kakak Sanusi, Muhammad Taufik, telah menyepakati ganti rugi di turunkan jadi 5 %.

Ada di tingkat pleno hal tersebut diketuk. Sanusi juga berkali-kali coba memasukkan kesepakatan lewat pleno walaupun ada selalu memboikot supaya rapat tidak capai kuorum. Tentu saja usaha Sanusi ini tidak gratis. Sanusi terima Rp 2 miliar dari Agung Podomoro Land.

Pemberian itu dilaksanakan dalam dua term. Pertama dilaksanakan pada 28 Maret sejumlah Rp 1 miliar. Uang itu sudah dipakai Sanusi dan sisa Rp 140 juta. Penyerahan term ke-2 sejumlah Rp 1,1 miliar dilaksanakan pada 31 Maret, dan diamankan KPK.

Faksi Ariesman juga telah mengaku pemberian uang-uang tersebut. “Saya tidak dapat menerangkan isi BAP-nya. Yang terang, ada uang Rp 2 miliar yang diberikan ke Sanusi,” tutur advokat Ariesman, Ibnu Akhyad.

Di luar suap ke Sanusi itu, tersebar rumor sogokan ke 17 ketua dan anggota DPRD DKI untuk memuluskan raperda reklamasi. Sogokan itu diantaranya berbentuk jalanan ke keluar negeri, umrah, dan pemberian beberapa mobil eksklusif.

Tetapi beberapa anggota Dewan di Kebon Sirih itu memberi sangkalan. Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, contohnya, disebut mendapatkan “hadiah” jalanan ke Amerika Serikat bersama keluarganya.

Memang, ucapnya, dia pergi ke Amerika Serikat pada 22 Desember 2015, tetapi dalam rencana pekerjaan. “Rupanya acara itu diurungkan. Pada akhirnya saya pergi sendiri dengan ongkos sendiri, bukan ongkos negara. Bersama keluarga saya,” kata Prasetyo.

Bantahan yang masih sama dikatakan Ketua Fraksi Partai Hanura DPRD DKI Mohamad Sangaji (Ongen), yang disebut diongkosi pelesiran ke Amerika Serikat. “Aduh… saya ke Hong Kong saja tidak pernah. Paspor saya dapat disaksikan,” katanya.

Sesudah tersingkapnya kongkalikong dalam raperda reklamasi ini, DPRD DKI Jakarta hentikan ulasan raperda tersebut. Argumennya, reklamasi dilaksanakan saat sebelum terbitnya SK Gubernur. SK Gubernur itu keluar saat sebelum raperda diulas. Ahok merasa pemberhentian ulasan raperda itu bikin rugi karena reklamasi sedang jalan di atas lapangan. Industri property akan terpukul lebih berat.

Tetapi keputusan lain diambil oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP bersama Komisi IV DPR setuju reklamasi itu harus disetop. Dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membahas lagi faktor legal dan lingkungan dari reklamasi tersebut. Ahok dan barisan pemerintahan pusat pada akhirnya duduk bersama untuk merundingkannya.

Comments are closed.