Dua Menara Beperkara

Dua Menara Beperkara Dua bangunan pencakar langit itu berdiri kuat di teritori Superblok Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Kehadirannya cukup mencolok dari sisi bangunan lain, seperti Mal Grand Indonesia I dan II dan, sudah pasti, Hotel Indonesia Kempinski yang legendaris tersebut.

Dua gedung itu ialah Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Disebutkan Menara BCA karena di gedung berkaca biru tersebut kantor pusat Bank Central Asia berada. BCA penyewa gedung paling luas di menara itu. Dari jarak jauh, simbol BCA mudah bisa dibaca oleh siapa saja yang menyaksikan.

Tetapi siapa menduga, dibalik ke-2 gedung itu, sebuah persoalan disimpan dan terendap lumayan lama. Permasalahan itu ialah kehadiran gedung perkantoran dan tempat tinggal terbatas tersebut di teritori Hotel Indonesia selebar sekitaran 7 hektar.

Kejaksaan Agung menunjuk, ke-2 gedung yang dibuat dan diatur oleh PT Grand Indonesia (GI) itu tidak ada pada kesepakatan bekerja sama pada 2004 dengan PT Hotel Indonesia Natour (HIN) sebagai pemilik tempat. Mengakibatkan, penghasilan dari pendayagunaan ke-2 gedung itu tidak masuk ke dalam PT HIN, tubuh usaha punya negara yang beroperasi di sektor perhotelan dan rekreasi.

Semenjak Januari 2016, Kejagung mulai menginvestigasi bekerja sama usaha itu. Beberapa faksi dicheck, termasuk bekas Direktur Khusus PT HIN Aloysius Moerba Suseto dan bekas Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Kasus sangkaan korupsi ini telah dinaikkan ke tingkat penyelidikan karena sudah diketemukan bukti permulaan yang cukup. Tetapi selama ini tidak ada terdakwa yang diputuskan.

Tahun 1997-2002 adalah tahun yang berat untuk PT HIN. Hotel Indonesia telah berumur lebih dari 30 tahun dan sekalipun belum diperbaiki. Hal tersebut mengakibatkan daya saing hotel jadi tersuruk. Penghasilan juga tidak berapa besar.

Laporan Hasil Pemeriksaan Tubuh Pemeriksa Keuangan No. 02/Auditama VII/01/2016 atas Penghasilan dan Kerja Sama dengan Faksi Ke-3 pada PT HIN dan Lembaga Berkaitan di Jakarta mengatakan, sepanjang 1997-2002 penghasilan dari pengendalian Hotel Indonesia oleh PT HIN cekak. Setiap tahun hotel itu cuma mengantongi keuntungan Rp 2,06 miliar.

PT HIN selanjutnya membuat team Akselerasi Peningkatan Perusahaan pada 10 Januari 2002. Team ini bekerja membuat document peningkatan (termin of reference/TOR). lakukan penyeleksian dan penilaian untuk beberapa calon investor.

Lantas, kesempatan bekerja sama juga dibuka. PT HIN mengundang 53 calon partner vital. Dari 53 itu, delapan perusahaan beli document peningkatan. Tetapi pada akhirannya cuma PT Cipta Kreasi Bumi Cantik (CKBI) yang memberikan proposal.

PT CKBI ialah perusahaan Group Djarum punya konglomerat Hartono, yang adalah pemilik BCA. Pada 23 Mei 2003, PT CKBI ajukan proposal usaha. Perusahaan yang berbasiskan di Kudus, Jawa tengah, itu tertarik membuat teritori terintegrasi kelas dunia yang hendak jadi landmark Jakarta. CKBI ingin melakukan renovasi Hotel Indonesia dengan mekanisme bekerja sama operasi.

Disamping itu, PT CKBI akan membuat pusat berbelanja I di lokasi Hotel Indonesia, pusat berbelanja II di lokasi Hotel Inna Rekreasi, apartemen 41 lantai, dan sarana parkir. Bentuk kerja samanya untuk bangunan selainnya hotel itu ialah build, operate, and transfer (BOT).

Periode waktu bekerja sama 30 tahun dengan hak pilihan ekstensi dan ganti rugi minimum 25 % dari harga jual objek pajak atau minimum Rp 400 miliar. Nilai investasi CKBI semuanya Rp 1,2 triliun. Dan pembagian penghasilan ialah 50 %, yang digaransi tidak akan di bawah Rp 8 miliar /tahun. PT HIN akan mendapatkan ganti rugi ongkos sewa kantor sepanjang pembangunan berjalan, yaitu sejumlah Rp 1,7 miliar.

Proposal itu selanjutnya dikoreksi oleh PT CKBI. Bentuk bekerja sama untuk semua unit bangunan ialah BOT. Pembagian keuntungan beralih menjadi Rp 10 miliar untuk 2004-2015 dan akan ditambahkan Rp 1 miliar setiap tahunnya sampai bekerja sama usai.

Peralihan yang mencolok ialah batalnya PT CKBI membuat apartemen. Mereka berargumen daerah itu telah oversupply dan faktor legal yang sulit. PT CKBI menyebutkan belum mempunyai pengalaman dalam usaha apartemen.

Pada 13 Mei 2004, ditekenlah kesepakatan usaha tersebut. Kesepakatan yang dibikin oleh notaris Irawan Soerodjo itu mengeluarkan bunyi “Perjanjian Pembangunan, Kepemilikan, Pengendalian, dan Penyerahan Kembali Tanah, Gedung, dan Sarana Pendukung” yang sudah dilakukan oleh PT HIN dengan PT CKBI dan PT GI.

PT GI, yang tiba terakhir, ialah perusahaan baru bentukan CKBI untuk melakukan hak BOT yang dikantonginya. PT CKBI menggenggam 75 % saham di PT GI, bekasnya, 20 % punya PT Cipta Mulia dan 5 % punya Hadiyanto Lazzaro.

Di pasal 1.2 kesepakatan itu disebut jika, “Gedung dan sarana pendukung yang wajib dibuat dan/atau diperbaiki yang menerima hak BOT di atas tanah yakni diantaranya ialah pusat belanja, hotel, dan bangunan-bangunan yang lain berikut sarana parkir dan sarana pendukung, yang terbagi dalam hotel bintang lima (42.815 mtr. persegi, pusat belanja I selebar 80.000 mtr. persegi, pusat belanja II selebar 90.000 mtr. persegi, dan sarana parkir selebar 175.000 mtr. persegi dengan kemampuan sekitaran 4.000 kendaraan, yang disebut gabungan di antara lantai dasar dan gedung parkir.”

BPK dalam laporannya yang keluar pada 14 Januari 2016 menulis ada beberapa ketidaksamaan di antara kesepakatan BOT itu dan TOR dan Surat Kesepakatan Kerja Sama Peningkatan HI dan Inna Rekreasi dari Menteri BUMN No. S-136/MBU/ 2004.

Ketidaksamaan itu diantaranya berkenaan pemberian hak pilihan ekstensi BOT sepanjang 20 tahun, pemberian ganti rugi bukan berdasar prosentase dan keuntungan minimal, pemberian hak ke pemegang BOT yang memungkinkannya manfaatkan sertifikat tanah HI dan Inna Rekreasi sebagai alat jaminan, peralihan partner vital dari PT CKBI ke PT GI, dan tidak ada kewajiban neraca keuangan tahunan.

Khusus berkenaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski, BPK menyaksikan ada fenomena. Karena, hak menambahkan gedung perkantoran dan apartemen itu tidak ditata dengan terang dalam kesepakatan BOT.

Pada 2007, saat gedung itu tetap dibuat, permasalahan timbulnya Menara BCA dan Apartemen Kempinski itu telah muncul. Pemicunya, ke-2 gedung itu dicemaskan tidak termasuk yang diberikan ke PT HIN jika kesepakatan pengendalian di teritori HI habis waktunya.

Dari document yang didapat Data China, Arie S. Hutagalung, konselor hukum yang dipilih PT HIN, memiliki pendapat gedung itu memungkinkannya untuk dibuat sebab ada frasa kata “antara lain” dalam BOT.

Tambahan ke-2 bangunan itu bisa meningkatkan keuntungan untuk PT HIN. Karena, diakhir saat pengendalian, PT HIN akan memperoleh semakin banyak bangunan dibandingkan cuma hotel, mal, dan tempat parkir.

PT HIN bisa menampik informasi acara penuntasan tugas karena pembangunan teritori HI tidak sebesar dengan investasi awalnya. Tetapi, ingat keuntungan lebih yang hendak didapat PT HIN, dia merekomendasikan supaya kesepakatan bekerja sama di antara PT HIN, PT CKBI, dan PT GI itu seharusnya diganti.

Tetapi, sampai informasi acara penuntasan tugas bangunan itu ditandatangani pada 11 Maret 2009, adendum (peralihan) kesepakatan itu sebelumnya tidak pernah dilaksanakan. Bahkan juga, sampai pemeriksaan BPK usai, pengkajian dan perhitungan atas tambahan investasi Menara BCA dan Apartemen Kempinski itu tidak pernah dilaksanakan. Walau sebenarnya ke-2 bangunan itu bisa ditegaskan menambahkan investasi dan sumber penghasilan untuk PT GI.

Hasil audit itu pulalah yang memacu kemarahan barisan komisaris yang baru PT HIN. Komisaris Khusus PT HIN Michael Umbas menjelaskan permasalahan ini telah didiamkan lumayan lama. Mengakibatkan, PT HIN terus menanggung derita rugi. “Kedua gedung ini ibarat anak haram. Tidak diharapkan tetapi tiba-tiba ada,” ucapnya ke Kocok Sdy.

Umbas memperkirakan, kehadiran Menara BCA dan Apartemen Kempinski adalah hasil permainan investor sama orang dalam di PT HIN di saat kemarin. Mereka menyengaja membuat beberapa poin karet, yang dapat ditranslate sesenang hati. “Ini bersekongkol di antara direksi lama dan faksi PT GI. Kita masuk menjadi komisaris, temukan bukti ini, masak kita diamkan,” katanya.

Ini bersekongkol di antara direksi lama dan faksi PT GI.”

Bekas Menteri BUMN Laksamana Sukardi merasa ada yang ganjil dari megaproyek HI pada saat-saat akhir ia memegang tersebut. Masalahnya saat menyepakati bekerja sama usaha itu, tidak ada gagasan pembangunan gedung perkantoran dan apartemen. Kalaulah disebutkan fasilitas pendukung, bangunan itu semestinya berwujud sarana sosial saja. “Sebetulnya jika materi (gedung) yang krusial tidak dapat disebut ‘dan lain-lain’. Itu yang khusus justru,” kata Laksamana.

Beskal Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Arminsyah mengutarakan, Suseto dalam pemeriksaan pada 14 Maret 2016 mengaku Menara BCA dan Apartemen Kempinski ilegal. Tetapi hal tersebut langsung dibantah oleh team kuasa hukumnya. Apa yang dibuat oleh PT GI telah sesuai akte kesepakatan yang ditandatangani pada 2004.

Dalam pada itu, advokat PT CKBI dan PT GI, Juniver Girsang, memandang persoalan ini cuma masalah perdata. Objek kesepakatan ialah pendayagunaan tempat di HI, bukan bangunan. Client-nya mempunyai hak besar di tempat itu, termasuk mengganti gagasan dasar secara berdasar pemikiran tehnis sepanjang tidak kurangi jumlah.

Berkaitan project Menara BCA dan Apartemen Kempinski, katanya Kocok HK, terang termaktub di pasal 1.6. PT GI kuasai hak punya atas unit rumah atur atau HMARS. Dengan itu, dalam usahanya, PT GI dapat membuat gedung tingkat dengan satuan-satuan terpisahkan, khususnya untuk tempat tinggal. “Jadi jika PT GI diharuskan membuat strata judul, strata judul ini rumah, selanjutnya bangunan perkantoran,” ucapnya.

 

Comments are closed.